Jenggala

IDR Rp.-,-
Judul Buku Jenggala
Ukuran Buku 14x20cm
Tebal 590 halaman
Penulis Juwana Fadillah
Stok POD (Print On Demand)

Detail Buku:

Judul: Jenggala

Penulis: Juwana Fadillah

Jumlah Halaman: 590 halaman

Ukuran: 14x20

Blurb:

Mendaki gunung adalah kegiatan yang tidak lepas kaitannya dengan mahasiswa pencinta alam. Jiwa yang pemberani, suka berkelana, fisik yang tangguh begitu melekat pada mereka yang lehernya kerapkali dikalungi kain segitiga yang disebut slayer perjuangan. Sama halnya dengan keenam anak manusia itu, sebut saja—Jendral, Adinata, Hema, Taksa, Rafa dan Kinar. Untuk memperingati HUT Republik Indonesia yang ke-75 tahun, mereka memutuskan melakukan sebuah pendakian ke gunung yang berada di provinsi Jawa Timur. Arjuno namanya.

Di tengah persiapan, Kinar—yang merupakan anggota perempuan satu-satunya merasa keberatan karena pendakian tahun ini tidak disetujui oleh Pembina. Cuaca ekstrem menjadi alasannya. Meksi begitu, suaranya kalah banding dengan kaum lelaki yang mengotot bahwa kegiatan ini harus dilakukan. Sebab ada tujuan lain selain demi mengibarkan bendera merah putih di puncak sana, yaitu untuk menaikan eksistensi JAYAPALA (Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam yang mereka ikuti) yang sudah mengalami kemunduran akibat peristiwa kelam yang menewaskan dua anggota karena kekerasan senior sewaktu pelantikan. Rasa memiliki yang besar atas organisasi itu membuat Jendral sebagai ketua yang demokratis, hanya bisa meyakinkan Kinar agar kekhawatirannya berkurang dan tidak dilebih-lebihkan. Dua dari mereka, Hema dan Taksa membawa adiknya yang perempuan, sebuah hal lumrah tapi memunculkan risiko karena mendaki gunung bukan hanya perihal menaklukan jalan menanjak, tetapi harus ada ilmu dan pengetahuan. Tapi mau bagaimana lagi, untuk menemani Kinar, mereka memang membutuhkan Widya dan Tesla yang merupakan kaum perempuan.

Untuk menghindari hal yang ditakutkan, Jendral mengajak temannya yang sudah pernah mendaki gunung tertinggi kedua di Jawa Timur itu. Dia bernama Mahameru yang tengah merantau di kota Semarang yang ternyata mempunyai latar belakang yang sama sepertinya. Meru tidak membiarkan dirinya untuk sendiri, dia mengajak empat anggotanya untuk ikut. Renjani, Lea, Bayu dan Raida yang ternyata turut mengajak sepupunya. Sayang, Lea justru tidak ikut. Gadis itu justru kedatangan tamu bulanan. Dan menurut kabar yang beredar, perempuan yang tengah haid tidak diperkenankan mendaki Arjuno karena adanya pantrangan adat. Malam harinya, total yang ikut hanya 13 orang dari jumlah 14 orang. Segerombolan anak-anak manusia itu segera berlayar menggunakan kapal untuk menuju pelabuhan Surabaya.

Di tengah perjalanan, sepupu dari Raida yang bernama Kate tidak bisa menjaga mulutnya. Kapal mengalami kematian mesin mendadak dengan deru ombak yang kuat, menggoyangkan kapal hingga membuat penumpang ketakutan bukan main. Belum apa-apa, alam seakan menyambut mereka dengan marah. Seakan memberi pertanda bahwa perjalanan tidak akan semudah yang dibayangkan. Kate merasa bersalah dan dia berjanji dengan diri sendiri untuk lebih menjaga tutur kata. Setidaknya, dia adalah manusia yang berani belajar dari kesalahan.

Besoknya, mereka sampai di basecamp Tretes, Arjuno. Tempat registrasi sebelum melakukan perjalanan lebih lanjut. Meru dan Jendral melakukan administrasi dengan pengelola. Namun dua anak itu ditegur karena jumlah anggota rombongan yang ganjil dan tiga orang yang mengenakan pakaian berwana merah. Warga setempat percaya bahwa melakukan pendakian ganjil dan mengenakan pakaian berwarna merah bisa membawa malapetaka yang tidak diharapkan. Karena pada dasarnya mereka adalah jiwa-jiwa darah muda, mereka berusaha meyakinkan kepada pengelola bahwa semua akan baik-baik saja. Di satu sisi, Widya mengalami datang bulan tepat saat mereka sudah siap berangkat. Usut punya usut, Adinata juga nyatanya tidak mengantongi izin untuk pendakian saat ini. Konon, jika dia izin untuk mendaki tentu tidak akan diizinkan oleh orang tuanya yang begitu berambisi dengan kepintaran akademis. Singkatnya, hubungan orang tua dan anak itu, tidak harmonis.

Hari pertama, perjalanan begitu terasa semestinya. Meru yang bertindak sebagai navigator atau petunjuk arah juga melakukan yang terbaik. Hingga ketika malam hari, mereka memutuskan untuk menginap di tengah-tengah perjalanan. Dan di malam itu, mereka jadikan sebagai ajang perekatan. Saling bercanda gurau mengisi kedinginan sebelum tidur untuk menghemat tenaga.

Hari kedua, kabut turun saat mereka sudah berada di ketinggian sekitar dua ribu. Rasa lelah membuat orang-orang menjadi sulit untuk mengtur emosi hingga puncaknya terjadi percekokan antara Tesla dan Kate. Suasana berubah panas. Meski tidak lama, tetap saja menciptakan atmosfer yang berbeda hingga puncaknya Tesla dan Bayu memutuskan untuk berhenti mendaki tanpa sepengetahuan teman-teman yang lain. Dan karena tidak bisa menahan syahwat, kedua sejoli itu melakukan hal yang kotor. Tidak hanya merusak alam, tapi juga diri sendiri. Sejak itulah, petaka menghantui semuanya. Mengetahui bahwa Tesla dan Bayu tertinggal, tiga orang memutuskan untuk mencari. Naasnya, yang ditemukan hanya Tesla yang sudah dalam keadaan kacau, sementara Bayu lenyap tidak tahu ada dimana. Masalah pun hadir lagi, Kate dan Raida dinyatakan hilang ketika ingin buang air kecil. Faktanya, Raida buang air kecil di bekas petilasan tapa seorang Nyai hingga mereka disesatkan. Setelah diskusi, yang kini tinggal 10 orang itu memutuskan untuk turun saja daripada melanjutkan sampai ke puncak.

Perjalanan turun yang semula dibayangkan mudah, nyatanya tidak sekali. Pulang seakan menjadi hal yang justru mustahil. Berkali-kali mereka mengalami hal kejadian di luar nalar. Kerasukan, kembali lagi ke tempat semula padahal jelas-jelas mereka berjalan turun, sampai dipertemukan dengan banyak kuburan. Aneh tapi nyata. Sampai akhirnya, sebuah petunjuk berhasil mereka dapatkan, nyatanya bukan untuk menenangkan, melainkan untuk memberi tahu bahwa mereka hanya memiliki 7 hari untuk bisa keluar dari gunung itu. Lebih dari itu, maka mereka akan abadi bersama penghuni yang marah akan kelakuan bejat Tesla dan Bayu.

Berhari-hari mereka berjalan dengan membawa segenggam harapan. Air dan makanan habis seiring berjalannya waktu. Mereka hanya mengandalkan sumber daya alam yang tidak seberapa. Berjuang untuk tetap hidup di tengah sulitnya keadaan. Menangis pun rasanya sudah lelah karena sama sekali tidak bisa membantu. Dinding rumah adalah hal yang begitu mereka rindukan. Putus asa sudah menjadi hal yang sepertinya akan mereka ambil. Singkat saja, mereka hampir menyerah. Sudah pasrah jika memang tidak bisa lagi melihat wajah orang tua. Sampai di hari itu, sebuah ide muncul dari Meru, meningkatkan sedikit semangat berjuang untuk mereka bisa pulang dan menemukan tiga temannya yang masih hilang.

Mereka terus berjalan dan berjalan untuk menuju tempat dimana Tesla dan Bayu melakukan hal yang tidak senonohnya. Dengan tujuan untuk meminta maaf yang sebesar-besarnya. Ini klise, tapi mereka akan mencobanya meski sekali. Tentu saja tidak mudah, di sela-sela perjalanan mereka harus menerima sebuah kehilangan dua orang sekaligus. Hancur. Mental semakin kacau bahkan nyaris gila karena luka yang begitu menyakitkan. Mereka dipaksa kuat setelah disiksa oleh getir yang semesta kirimkan begitu jahat.

Sebesar apapun hujan, memang pasti akan reda. Selama apapun malam, pagi akan datang menyongsong. Begitu juga dengan yang mereka alami. Kesedihan yang menyelimuti berganti dengan kebahagiaan. Perjuangan lelah dan air mata terbayar dengan kebebasan yang diberikan oleh sang penghuni hutan. Meski sebelumnya, mereka nyaris tidak bisa kembali lagi ke dunia manusia. Namun, pertolongan Tuhan itu nyata. Dikirimnya sosok perempuan bernama Shena yang ternyata memiliki ikatan darah dengan leluhur yang disanjung di dunia lain. Di hari yang sama juga, mereka ditemukan oleh anggota SAR yang sudah berhari-hari mencari mereka.

Dari total sepuluh pendaki hilang itu, lima orang dibawa turun langsung oleh SAR karena keadaan tubuh yang sudah sangat memprihatinkan. Sementara, Jendral, Adinata, Meru, Taksa dan Tesla dituntut untuk naik lagi karena perintah dari leluhur yang menyelamatkannya untuk memandikan gadis itu di aliran sungai. Ditemani dengan dua anggota SAR, mereka melanjutkan misi. Namun entah apa mau semesta, malang tak bisa ditampik, sebuah bencana gunung meletus terjadi. Arjuno memuntahkan semua beban yang ribuan tahun dia pendam.

Hilang. Keluarga yang menunggu dibawah dibuat hancur sampai rasanya ingin ikut mati. Kesedihan ada dimana-mana. Berhari-hari mereka mencari, berhari-hari mereka menunggu kabar yang tak pasti, berhari-hari mereka menangisi anak, adik dan kekasihnya. Lagi-lagi kehilangan yang harus mereka terima. Jasad-jasad yang tergeletak di dalam kantong jenazah menjadi bukti bahwa mereka memang sudah berpulang lebih jauh. Sudah tidak ada harapan untuk mereka para keluarga memeluk yang hilang dalam keadaan bernyawa. Tiga jenazah dari mahasiswa dan dua anggota SAR berhasil ditemukan. Sayangnya, dua dari mereka memutuskan untuk berada didekapan Arjuno lebih lama lagi. Sampai pada akhirnya, pencarian dihentikan karena sudah hampir lima minggu tidak mendapatkan hasil.

Hema adalah orang paling sakit diantara yang sakit. Kehilangan lima sahabat membuatnya tidak bisa waras untuk tetap hidup. Hingga dia memuskan untuk menyudahi rasa sakitnya dengan cara yang tidak baik. Mengakhiri hidup, itulah yang dia lakukan. Namun sesuatu yang besar menghampirinya, sesuatu yang mengubah semua cerita yang dia alami. Nyatanya, itu adalah cerita mimpi yang Hema alami sebab tidur di waktu sore. Setelah banyak cerita dramatis, pada akhirnya, tujuan mereka terselesaikan dengan begitu baik. Pendakian dilakukan dengan mengantongi izin. Mereka berhasil. Bendera merah putih berkibar di puncak Arjuno.

Hanya saja, ada yang tertinggal, tentang cinta dan perasaan dari keempat belas penduduk bumi itu. Cerita yang melibatkan hati, biasanya tidak akan selurus garis. Berbelit, berkelok dan terjal. Semua cinta yang tumbuh di hati mereka, tidak semua layak berbahagia.

Subscribe to receive free email updates: