A Flash Fiction By: Mulia Ahmad Elkazama
Antara Aku, Rara, dan Marissa
Pagi yang basah. Sesosok bidadari lewat di
depan mata. Seperti tarian hujan ia berjalan. Seperti daun-daun menggigil, reaksi
hati saat mata beradu pandang. Itulah yang terjadi padaku.
“Hai, boleh kenalan?” aku menghadang
langkahnya, dan memberanikan diri berkenalan. Dengan senyum manis, ia
mengulurkan tangan.
“Rara.”
“Aditya,” kataku seraya menyambut hangat
tangannya.
Oh, pagi yang semula dingin, kini terasa
begitu hangat. Gigil hati pun berubah kobaran api semangat.
“Btw, anak baru, ya?” tanyaku sok tahu. Ia
mengangguk.
“Kelas berapa?” lanjutku. Ia menunjuk ke arah
kelas. “Berarti kita satu kelas?” Rara mengangguk.
“Boleh aku masuk?” ia meminta izin. Aku pun
mempersilakan gadis tinggi semampai ini seperti seorang pengawal memperlakukan
sang putri raja—menundukkan punggung dan kepala.
Saat Rara memasuki kelas, suasana pun ramai
sekali. Sorak-sorai menyambut kedatangannya. Oh, ia benar-benar primadona!
“Eh, duduk di sebelah sini aja.” Aku
menawarkan bangku kosong di depanku.
Sebenarnya, itu bangku Marisa, Si Gendut dari
luar angkasa. Entah di mana ia sekarang, sudah sebulan tak ada kabar. Atau aku
yang kurang up-date, ya? Ah, masa bodoh sama tuh alien.
Jujur, aku malah bahagia sekali kalau Si
Gendut enyah dari pandanganku. Sebab tiada hari tanpa mengejar-ngejar diriku.
Duh, parah pokoknya! Tapi, kadang kangen juga. Bukan sama orangnya, melainkan
kebaikan hatinya yang selalu menuruti apa yang kuminta. Ya, Marisa begitu
tergila-gila dengan kegantenganku! Ah, sungguh bukan gadis yang kuimpikan. Ia
lebih mirip alien yang hendak menginvasi bumi. Ih, membayangkan sosoknya
sungguh membuat bulu kuduk berdiri.
Tapi, sebulan ini Marisa tidak masuk sekolah.
Kata teman-teman ia kabur ke luar angkasa untuk menenangkan diri, setelah
cintanya kutolak. Siapa juga yang mau punya pacar berbadan tambun, rambut
dikuncir dua, mulut bau bangkai, keringat bau kloset, dan agresifnya itu buatku
ingin muntah. Sungguh! Berbeda sekali dengan Rara—wangi, langsing, menyejukkan
mata dan pikiran.
“Ra, istirahat nanti, kita makan bareng, ya?”
“Emangnya, nggak ada yang marah?”
“Emmm ... banyak, sih. Bisa jadi gadis satu
sekolahan marah padamu. Tapi santai aja. Aku jomblo, kok!” jawabku sambil
nyengir kuda.
“Dasar cowok!”
Bel istirahat berbunyi. Aku dan Rara pun
menuju ke kantin.
“Mau makan apa? Biar aku aja yang pesan,”
kataku.
“Bakso dan teh manis aja.” Aku segera
beringsut memesan makanan.
Baru beberapa detik duduk di depan Rara, ia
berdiri di atas bangku.
“Ra, mau ngapain?” Aku heran. Ia menjawabnya
dengan senyum.
“Teman-teman sekalian, mohon perhatian! Hari
ini, aku merayakan perkenalanku dengan Aditya. Jadi, kalian boleh makan
sepuasnya. Gratis! Aditya yang akan membayarkan makanan kalian. Terima kasih.”
Kata Rara lantang. Sementara aku hanya bisa melongo—tergagap.
“Ra, apa-apain ini? Aku ...”
“Tenang aja. Ini belum seberapa, kok! Besok
akan lebih dahsyat lagi daripada hari ini. Pembalasan baru dimulai,” kata Rara
setengah berbisik, lalu berlenggang kangkung—pergi meninggalkan diriku yang
masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Di atas meja kantin, aku menemukan sebuah foto. Gambar
Marisa dan Rara—before dan after.
Baca Juga: Pemantik Semangatku
Biodata Penulis:
Mulia Ahmad Elkazama, lahir di Pati, Jawa
Tengah. Penggemar serial Anime Naruto ini suka, membaca dan menulis. Alamat
domisili: PP. Darul Falah, Jerukmacan Sawo Jetis Mojokerto, 61352.