A Flash Siction By: Nata Carol
Guruku Tercinta
Aku mengendap-endap memasuki ruang kelas sesaat melihat Bu Amarys keluar kelas dengan cepat menuju kamar mandi. Bola mata mengintimidasi dan mencemooh tindakan konyol mulai bergulir ke arahku tapi tidak perlu dipedulikan. Toh, mereka tidak membayar iuran sekolahku. Aku melotot dan mengancam seisi kelas untuk tidak bicara. Kukeluarkan buku pelajaran matematika dari dalam tas sambil sesekali pura-pura membaca, sesaat Bu Amarys masuk, aku langsung berpura-pura menulis. Meski kenyataannya tidak menulis apa pun, hanya mencoret tidak jelas.
“Kamu sejak kapan masuk? Bukannya tadi enggak ada.” Suara Bu Amarys yang mirip penyanyi opera sabun itu memandangnya heran. Jari telunjuknya yang lentik di arahkan pada mukaku dari jarak jauh.
Aku tersenyum kecil. “Saya sudah di sini sedari tadi kok, Bu. Ibu aja yang enggak lihat.”
“Kalau gitu, kenapa tadi Ibu absen kamu enggak jawab? Malah teman-temanmu bilang kamu enggak masuk.”
“Teman saya emang begitu, Bu. Selera humornya tinggi, sampai orang masuk dibilang enggak masuk,” jawabku tenang.
Suara cekikan dari berbagai arah mulai terdengar, celetukan dari sarang penyamun di pojok kelas segera membumbui.
“Sudah-sudah. Lanjutkan lagi belajarnya. Dan untuk kamu lain kali menyahut kalau di panggil.”
Aku mengangguk-anggukan kepala kecil, masuk telinga kanan, eh, malah keluar telinga kiri. Asli aku enggak menyuruh begitu. Tapi memang otakku saja yang sedikit miring sehingga kalimat yang masuk lebih mudah keluar sendiri.
Menjelang pukul dua siang, pelajaran hampir selesai. Telinga yang sensitif ini mendengar kalimat mencemooh dari biang keladi di kelasku. Cowok yang selalu membuat cewek menangis karena sikap usilnya.
“Guru kok cerewet banget! Mati aja deh ke laut!”
Aku tercengang. Astaga, bisa-bisanya dia berkata begitu. Dengan menghentak-hentakkan kaki, tanganku langsung melayang ke pipinya. Dia langsung mengusap pipi, melotot ke arahku dan aku balas melotot.
“Kurang ajar banget sama guru!”
“Eh, ngaca! Lo juga songong sama Bu Amarys. Apa namanya kalau bukan kurang ajar?”
“Tapi, gue enggak pernah ngejelekin guru dari belakang!”
Kali ini aku tidak bisa menghentikan emosi yang mendidih dalam kepala. Aku memang nakal tapi menjelek-jelekkan guru itu soal lain. Dia tidak pernah mengomentari pelita bangsa dengan penuh hinaan menjijikan tersebut meski sering bertingkah serampangan. Menjelek-jelekkan pelita bangsa berarti sama saja menginjak-injak proses pendidikan.
Jakarta, 25 November 2016
Biodata Penulis:
Nata Carol, terlahir di Jakarta pada tanggal 13 februari. Menulis dan membaca adalah upaya membuat otak menjadi berotot. Karena, tubuh kekar saja tidak cukup.
Dapat di ajak mengobrol di:
Wattpad: @carroll13
Facebook: Nata Carol