JANJI FIAN
A Flash True Story By: Annura Veina
Pria itu membetulkan kacamatanya,
bukan karena melorot, tapi memang sudah kebiasaannya saat gugup. Setidaknya aku
sudah riset selama enam bulan--yang berarti enam kali pertemuan--untuk
meyakinkan hal tersebut.
"Kemarin kirimannya salah, barang yang datang tidak sesuai sama yang dipesan," protesku yang membuatnya semakin gugup.
"Maaf Teh, mungkin kemarin orang gudang salah packing," ujarnya berusaha menetralkan kembali suasana yang terlanjur panas.
Aku memang saklek jika urusan stok barang. Mau bagaimana lagi, jika ada kesalahan dan berakibat menumpuknya barang sudah tentu aku yang kena imbasnya.
O iya, aku bekerja di sebuah toko penjualan suku cadang motor. Bos yang tegas membuatku lebih tegas jika bekerja.
Dan yang ada di hadapanku sekarang adalah Fian, salah satu sales suku cadang yang biasa memasukan barang ke toko. Sebagai admin, aku yang bertugas melakukan pemesanan dan mengecek barang datang.
"Tolong lebih teliti, jangan banyak bercanda," omelku yang makin menajam diakhir.
Fian tampak terkejut sampai-sampai tak menemukan kata untuk menjawab omelanku.
Malamnya, saat tengah membaca novel, dering ponsel mengganggu waktu bahagiaku. Dengan malas-malasan kutekan tombol hijau tanpa perlu melihat siapa peneleponnya. Sengaja aku menyetel dering berbeda khusus untuk orang itu.
"Ya," sapaku ogah-ogahan.
"Kamu masih marah?" tanya suara di ujung sana.
"Tentang?"
"Masalah tadi di toko," pria itu menghela napas. "Maaf, lain kali aku lebih teliti."
"Sekarang bukan jam kerja, Fian. Nggak usah bahas kerjaan."
"Habis kamu tadi kaku banget, kayak orang baru kenal aja."
"Emang baru kenal," balasku sengit. "Kalau di tempat kerja, aku mau fokus bahas kerjaan. Siapa pun itu akan kuperlakukan sebagai rekan kerja. Kalau di luar jam kerja, kita bisa santai, bahas hal-hal nggak jelas kayak biasa."
Kami tertawa. Tiga bulan terakhir intensitas komunikasi kami memang lebih tinggi. Pertemuan mungkin baru enam kali, tapi pertemuan via suara dan media sosial terjalin setiap hari.
Dia menunjukkan terang-terangan perasaannya lewat kalimat-kalimat yang diuntai dalam pesan yang mampir ke ponselku. Bukan gombal, sama sekali tak ada rayuan di dalamnya. Hanya saja, aku bisa menangkap hal itu. Ah sudahlah, tak perlu diceritakan karena wanita bisa lebih peka.
"Tunggu aku akhir bulan ini!"
"Bukannya jadwal kamu ke toko itu awal bulan?"
"Siapa bilang mau ke toko? Mau ke rumah kok. Kan kalau di toko kamu nggak mau bahas urusan pribadi."
Jantungku nyaris mengundurkan diri dari tempatnya saat mendengar penuturan jujurnya. Mau ngapain ke rumah? Tapi urung kutanyakan sebab sia-sia. Jelas-jelas dia ingin berbicara sebagai Fian bukan sales suku cadang. Terus, kenapa dia mau berbicara sebagai Fian? Aku tak berani bertanya, lebih tepatnya belum siap mendengar jawabannya. Atau mungkin malah aku yang ditagih jawaban jika dia benar-benar ke rumah.
"Firda," sapa Bosku membuyarkan lamunanku. Dia menatapku prihatin, kupikir dia akan marah mendapati pegawainya melamun. Kilasan percakapan terakhir dengan Fian benar-benar menyedot atensi.
Beliau seperti tahu aku sedang memendam kesal pada seseorang. Seseorang yang berjanji akan bertamu di akhir bulan. Tapi, sudah sebulan sejak percakapan itu belum ada tanda-tanda kemunculannya.
Hari ini giliran kunjungannya. Awas saja, akan kubalas perbuatannya. Andai aku tak gengsi untuk menghubunginya lebih dulu mungkin sudah kulampiaskan kekesalanku lewat ponsel.
"Da, Fian nggak akan ke sini lagi. Hari ini penggantinya akan datang."
Pengganti? Dia pikir ini sepak bola? Kemana sih orang itu. Belum cukupkah timbunan kekesalan yang hampir menenggelamkanku ini?
Seolah tahu kejengahanku, Bosku lagi-lagi menatapku prihatin. Iya Bos, Fian memang menyebalkan. Hobi bikin orang vertigo.
"Tiga hari yang lalu Fian kecelakaan."
Aku terbelalak, apa katanya? Apakah timbunan kekesalan bisa menyumbat telinga? Rasanya tadi kupingku berdenging sampai-sampai ucapan Bos tak terdengar jelas.
"Dia dalam perjalanan kemari, tiba-tiba mobilnya lepas kendali, dan-- ah, nanti tanya saja sama penggantinya. Saya juga --"
Timbunan kekesalan bukan hanya menyerang telinga, tapi mata bahkan hatiku terkena imbasnya. Aku belum mendapat kabar yang pasti, namun aku dapat merangkaikan informasi yang kudapat ditambah insting untuk menyimpulkan apa yang terjadi.
Pengganti? Nggak akan ke sini lagi?
Sebelum gelap benar-benar menyergap, toko ramai, sebagian meneriakkan namaku.
Fian, akhir bulan mana yang kau maksud? Dan semuanya menjadi gelap
Ciamis, 24 Nov 2016
"Kemarin kirimannya salah, barang yang datang tidak sesuai sama yang dipesan," protesku yang membuatnya semakin gugup.
"Maaf Teh, mungkin kemarin orang gudang salah packing," ujarnya berusaha menetralkan kembali suasana yang terlanjur panas.
Aku memang saklek jika urusan stok barang. Mau bagaimana lagi, jika ada kesalahan dan berakibat menumpuknya barang sudah tentu aku yang kena imbasnya.
O iya, aku bekerja di sebuah toko penjualan suku cadang motor. Bos yang tegas membuatku lebih tegas jika bekerja.
Dan yang ada di hadapanku sekarang adalah Fian, salah satu sales suku cadang yang biasa memasukan barang ke toko. Sebagai admin, aku yang bertugas melakukan pemesanan dan mengecek barang datang.
"Tolong lebih teliti, jangan banyak bercanda," omelku yang makin menajam diakhir.
Fian tampak terkejut sampai-sampai tak menemukan kata untuk menjawab omelanku.
Malamnya, saat tengah membaca novel, dering ponsel mengganggu waktu bahagiaku. Dengan malas-malasan kutekan tombol hijau tanpa perlu melihat siapa peneleponnya. Sengaja aku menyetel dering berbeda khusus untuk orang itu.
"Ya," sapaku ogah-ogahan.
"Kamu masih marah?" tanya suara di ujung sana.
"Tentang?"
"Masalah tadi di toko," pria itu menghela napas. "Maaf, lain kali aku lebih teliti."
"Sekarang bukan jam kerja, Fian. Nggak usah bahas kerjaan."
"Habis kamu tadi kaku banget, kayak orang baru kenal aja."
"Emang baru kenal," balasku sengit. "Kalau di tempat kerja, aku mau fokus bahas kerjaan. Siapa pun itu akan kuperlakukan sebagai rekan kerja. Kalau di luar jam kerja, kita bisa santai, bahas hal-hal nggak jelas kayak biasa."
Kami tertawa. Tiga bulan terakhir intensitas komunikasi kami memang lebih tinggi. Pertemuan mungkin baru enam kali, tapi pertemuan via suara dan media sosial terjalin setiap hari.
Dia menunjukkan terang-terangan perasaannya lewat kalimat-kalimat yang diuntai dalam pesan yang mampir ke ponselku. Bukan gombal, sama sekali tak ada rayuan di dalamnya. Hanya saja, aku bisa menangkap hal itu. Ah sudahlah, tak perlu diceritakan karena wanita bisa lebih peka.
"Tunggu aku akhir bulan ini!"
"Bukannya jadwal kamu ke toko itu awal bulan?"
"Siapa bilang mau ke toko? Mau ke rumah kok. Kan kalau di toko kamu nggak mau bahas urusan pribadi."
Jantungku nyaris mengundurkan diri dari tempatnya saat mendengar penuturan jujurnya. Mau ngapain ke rumah? Tapi urung kutanyakan sebab sia-sia. Jelas-jelas dia ingin berbicara sebagai Fian bukan sales suku cadang. Terus, kenapa dia mau berbicara sebagai Fian? Aku tak berani bertanya, lebih tepatnya belum siap mendengar jawabannya. Atau mungkin malah aku yang ditagih jawaban jika dia benar-benar ke rumah.
"Firda," sapa Bosku membuyarkan lamunanku. Dia menatapku prihatin, kupikir dia akan marah mendapati pegawainya melamun. Kilasan percakapan terakhir dengan Fian benar-benar menyedot atensi.
Beliau seperti tahu aku sedang memendam kesal pada seseorang. Seseorang yang berjanji akan bertamu di akhir bulan. Tapi, sudah sebulan sejak percakapan itu belum ada tanda-tanda kemunculannya.
Hari ini giliran kunjungannya. Awas saja, akan kubalas perbuatannya. Andai aku tak gengsi untuk menghubunginya lebih dulu mungkin sudah kulampiaskan kekesalanku lewat ponsel.
"Da, Fian nggak akan ke sini lagi. Hari ini penggantinya akan datang."
Pengganti? Dia pikir ini sepak bola? Kemana sih orang itu. Belum cukupkah timbunan kekesalan yang hampir menenggelamkanku ini?
Seolah tahu kejengahanku, Bosku lagi-lagi menatapku prihatin. Iya Bos, Fian memang menyebalkan. Hobi bikin orang vertigo.
"Tiga hari yang lalu Fian kecelakaan."
Aku terbelalak, apa katanya? Apakah timbunan kekesalan bisa menyumbat telinga? Rasanya tadi kupingku berdenging sampai-sampai ucapan Bos tak terdengar jelas.
"Dia dalam perjalanan kemari, tiba-tiba mobilnya lepas kendali, dan-- ah, nanti tanya saja sama penggantinya. Saya juga --"
Timbunan kekesalan bukan hanya menyerang telinga, tapi mata bahkan hatiku terkena imbasnya. Aku belum mendapat kabar yang pasti, namun aku dapat merangkaikan informasi yang kudapat ditambah insting untuk menyimpulkan apa yang terjadi.
Pengganti? Nggak akan ke sini lagi?
Sebelum gelap benar-benar menyergap, toko ramai, sebagian meneriakkan namaku.
Fian, akhir bulan mana yang kau maksud? Dan semuanya menjadi gelap
Ciamis, 24 Nov 2016
Biodata Penulis:
Annura Veina |
Annura Veina terlahir di Ciamis dengan nama Nurul Azizah. Bisa dihubungi via email annuraveina@gmail.com dan instagram @nurulaziz_ah