Patung Batu - Amarta Shandy




A Flash Fiction By: Amarta Shandy


Patung Batu


Ryan tak percaya dengan ucapanku. Aku tak ingin bersusah payah membuatnya percaya karena hal ini memang konyol. Patung batu ini konyol. Mendapati cahaya menyorot dari benda gelap dan padat ini adalah hal terbodoh dari yang pernah ada namun aku mempercayainya.

"Kita pergi sekarang!" ajak Ryan.


"Aku hanya ingin adikku kembali, Ry! Kau tak perlu percaya, tapi bantulah aku saja!"

"Baiklah. Lalu apa yang bisa kulakukan?"

Kubuka buku yang sejak tadi kudekap erat. "Di sini tertulis, harus ada pasangan yang saling mengungkapkan cinta."

"Aku mencintaimu," ucap Ryan sebelum aku selesai membaca.

"Aku juga mencintaimu."


Kami menunggu beberapa saat. Dunia tidak serta merta berguncang atau pohon tiba-tiba tumbang tersambar petir. Desau angin tetap terdengar dari jarak 3 kaki. Tidak ada yang menggetarkan dunia. Semuanya normal.

"Anggap saja gagal. Apa ada yang lain?" tanya Ryan.

"Mereka harus saling mengikat."

"Apa maksudnya? Dengan tali?"

"Aku tidak tahu. Tidak ada kejelasan tentang ini!" Sahutku sambil meneruskan membaca.

"Ayolah, Cindy, aku sudah sangat lelah. Ayahmu akan memotong leherku jika aku tidak membawamu pulang tepat waktu!" Keluh Ryan putus asa.

"Tunggu dulu!" Ucapku sambil mengangkat tangan. "Farnokokus Jepilokokus Mandragikokus Saffeederish!"

Kuarahkan jari telunjukku ke arah patung batu itu. Tetap tidak ada perubahan yang terjadi. Ryan menahan tawa geli karenanya. Kuhentakkan kaki dengan kesal menyingkir dari lelaki itu.

"Maafkan aku. Yang tadi itu hanya bercanda. Kau juga bercanda," bujuk Ryan.

"Aku sangat serius tapi tidak denganmu!" Gerutuku.

"Aku serius denganmu. Aku hanya tidak percaya dengan batu yang kau sebut keramat ini. Adikmu sedang bermain di taman dengan teman-temannya."


"Kau melihatnya?" tanyaku menghentikan langkah.

"Aku yakin demikian!" aku berbalik dengan kesal. Mataku tepat menyorot ke arahnya. Tajam dan dalam. Seolah tatapanku bisa menusuk retina mata hingga otaknya.

"Hei?" panggilnya lembut sambil mendekatiku. "Aku minta maaf telah mengatakan bahwa aku membencimu. Sejujurnya aku sangat menyukaimu. Aku tak menolak perjodohan ini karena aku sudah memiliki cinta itu."

"Tapi kau tak pernah mempercayaiku!" keluhku.

"Jika dengan ini, apa kau masih berani mengatakan itu?" tanya Ryan sambil melepaskan cincin yang dijadikan liontinnya lalu dipasangkan di jari manisku. "Aku tahu ini tidak resmi. Tapi aku ingin kau mempercayaiku. Cinta juga harus disertai logika, bukan? Logikaku berkata aku mencintaimu. Aku percaya padamu. Kau akan menjadi pendamping hidupku hingga nanti. Aku sangat percaya itu."

Aku menunduk malu mengamati cincin di jari manisku."Aku juga mencintaimu. Logikaku yang memintaku mengatakannya."

"Kakak."

Aku menoleh cepat ke sumber suara, demikian pula dengan Ryan. Farra berdiri di depan patung batu dengan tubuh lusuh dan pakaian terkoyak. Aku benar-benar terkejut melihatnya.

"Kakak, terima kasih. Tapi kalian harus pergi. Kakak meminta untuk menggantikanku. Kakak mengucapkan mantra itu."

"Farra, kemarilah! Kita pulang bersama-sama!" ajakku.

Farra menoleh ke belakang. Patung batu itu memancarkan cahaya merah yang semakin lama semakin terang.

"Cepat pergi, Kak! Cepat pergi!" seru Farra.

Aku masih bingung dengan maksudnya. Tapi aku tak ingin kehilangan adikku lagi. Kutarik paksa tangannya dan kubawa berlari. Setelah agak jauh, Farra menghentikan langkahku dan menyuruhku menoleh ke belakang. Aku baru sadar sesuatu. Ryan sudah menghilang, bersama dengan cahaya merah yang berangsur menghilang.

Malang, 8 Desember 2016


Biodata Penulis:


Amarta Shandy, atau perempuan dengan nama asli Revika P. Purwitasari, lahir di Yogyakarta pada 4 Desember 1993. Gadis yang tinggal di Jl. Teluk Banyu Biru 26 Malang sekaligus baru merampungkan studi sarjana sains-nya ini bisa disapa dan diajak berbincang melalui akun facebook-nya: @amarta.shaddy atau email: ciezzy.shaddy@gmail.com.

Subscribe to receive free email updates: